Minggu, 10 Januari 2010

Tol Trans Jawa

Tol Trans Jawa memang masih menuai pro dan kontra. Namun, saya tidak sepakat jika kemudian megaproyek ini terhenti.

Ada orang bilang, Jalan Tol Trans-Jawa yang akan menghubungkan Merak dan Banyuwangi sejauh 1.200 kilometer ini ibarat mengulang mimpi Gubernur Jenderal Hindia Timur Herman Willem Daendels, 200 tahun silam. Bahkan, Tol Trans-Jawa ini disebut-sebut sebagai “trans-Jawa babak kedua”. Analogi ini ternyata juga menjadi penyebab kekhawatiran terhadap terulangnya dampak yang terjadi akibat pembangunan jalan Daendels itu jika Tol Trans-Jawa diteruskan.

Pendapat yang kontra pembangunan Tol Trans-Jawa sebagian besar mendasarkan argumennya atas nama dampak pembangunan jaringan tol yang dibangun di sisi selatan Jalan Daendels ini. Saya yakin bahwa jika berkaca dari sejarah, struktur ruang pulau Jawa sekarang ini merupakan hasil dari pembangunan Trans-Jawa babak pertama, yang dilakukan oleh Daendels itu.

Jalan lintas Anyer-Panarukan itulah yang dianggap memicu pertumbuhan sporadis dan tak terencana di sepanjang jalur utara pulau Jawa. Kota-kota pun tumbuh mengikuti jalan, fenomena yang menurut Peter JM Nas dan Pratiwo (Java and De Groote Postweg, La Grande Route, The High Military Road, Leiden/Jakarta, 2001), sebagai pertumbuhan kota memanjang. Bahkan, dalam tulisan berserinya, harian KOMPAS menyimpulkan bahwa setelah 200 tahun pembangunan jalan Trans-Jawa ala Daendels itu, wajah Jawa menjadi seperti pulau kota: Dari Anyer hingga Panarukan hampir tak ada jeda ruang untuk konservasi dan pertanian. Ruang disesaki perumahan, pertokoan, dan pergudangan. Kehancuran ekologis dan perubahan tata ruang yang tidak terkontrol menimbulkan banjir pada musim hujan, kekeringan saat kemarau.

Apalagi, selain itu, pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa ini juga sempat diwarnai dengan ketidaksetujuan atas konversi lahan pertanian produktif, bahkan ratusan hektare di antaranya merupakan lahan persawahan irigasi teknis. Nah, intinya, saya melihat ada kekhawatiran Tol Trans-Jawa akan kembali mengevolusi struktur ruang pulau Jawa menjadi semakin tidak sehat. “Jangan meniru proyek Daendels di masa silam itu,” nilai Prof. Emil Salim suatu ketika.

Tapi dari hasil bincang-bincang saya dengan seorang pejabat Bina Marga Departemen PU, “Pembangunan tol Trans-Jawa ini sudah dipertimbangkan matang-matang, semata-mata untuk kesejahteraan rakyat. Bukan untuk lahan persawahan, jaringan irigasi, hutan lindung, perkebunan serta menghilangkan kesempatan kerja para petani penggarap.”. Bahkan, penetapan trase jalannya pun sudah melalui berbagai prosedur, mulai dari proses Amdal, analisis rencana tata ruang wilayah, analisis ekonomi, hingga pertimbangan teknis sebelum Gubernur menerbitkan SP2LP (Surat Persetujuan Penetapan Lokasi Pembangunan).

Memang, ada lahan irigasi teknis yang tergusur, tapi setelah diukur, luasnya tidak sampai 600 hektare, hanya 320 hektar. Selain itu, tim verifikasi Bina Marga menemukan fakta bahwa tidak semua lahan persawahan yang berpotensi digusur itu merupakan lahan persawahan beririgasi teknis. “Ada juga yang hanya berupa gadu (huma) dan sawah abadi,” jelas Haris Batubara.

Selain itu, Binamarga juga mengklarifikasi kekhawatiran banyak pihak bahwa jalan Tol Trans-Jawa ini akan semakin mengancam konversi lahan-lahan pertanian di sepanjang jalur yang dilintasinya. Lazimnya, pembukaan jalan baru akan diiringi konversi lahan pertanian menjadi lahan untuk peruntukan lain, seperti industri atau permukiman. Intinya, mereka sudah sepakat untuk tidak membuka opening (pintu tol) di sepanjang area persawahan itu. Menurut logika sederhana, selama tidak ada pintu tol di area persawahan itu potensi konversi lahan pertanian menjadi sangat kecil.

Yang jelas, proyek Tol Trans-Jawa adalah proyek multi-manfaat. Kelak, jika 10 ruas tol itu telah terhubung, transportasi angkutan barang akan semakin efisien karena waktu tempuh yang semakin cepat. Selama ini, transportasi angkutan penumpang dan barang lintas Jawa masih sangat bergantung pada jalur Pantura. Biaya transportasi yang semakin efisien akan berdampak pada nilai tambah berbagai komoditas, termasuk komoditas hasil pertanian.

Mungkin ada benarnya jika proyek ini mirip dengan proyek yang pernah dijalankan Daendels dua abad silam. Namun, tetap saja ada karakteristik yang berbeda. Jika dulu, jalan Anyer – Panarukan dibangun dalam konteks kepentingan kolonial, Tol Trans-Jawa dibangun dalam konteks kepentingan kesejahteraan rakyat semata. Jadi, ini bukan proyek Daendels babak kedua.

INDONESIA


The Republic of Indonesia (pronounced /ˌɪndoʊˈniːziə/ or /ˌɪndəˈniːʒə/) (Indonesian: Republik Indonesia) is a country in Southeast Asia and Oceania. Indonesia comprises 17,508 islands. With a population of around 230 million people, it is the world's fourth most populous country, with the world's largest population of Muslims. Indonesia is a republic, with an elected legislature and president. The nation's capital city is Jakarta. The country shares land borders with Papua New Guinea, East Timor, and Malaysia. Other neighboring countries include Singapore, Philippines, Australia, and the Indian territory of the Andaman and Nicobar Islands.

The Indonesian archipelago has been an important trade region since at least the seventh century, when the Srivijaya Kingdom traded with China and India. Local rulers gradually adopted Indian cultural, religious and political models from the early centuries CE, and Hindu and Buddhist kingdoms flourished. Indonesian history has been influenced by foreign powers drawn to its natural resources. Muslim traders brought Islam, and European powers fought one another to monopolize trade in the Spice Islands of Maluku during the Age of Discovery. Following three and a half centuries of Dutch colonialism, Indonesia secured its independence after World War II. Indonesia's history has since been turbulent, with challenges posed by natural disasters, corruption, separatism, a democratization process, and periods of rapid economic change.

Across its many islands, Indonesia consists of distinct ethnic, linguistic, and religious groups. The Javanese are the largest and most politically dominant ethnic group. Indonesia has developed a shared identity defined by a national language, ethnic diversity, religious pluralism within a majority Muslim population, and a history of colonialism including rebellion against it. Indonesia's national motto, "Bhinneka Tunggal Ika" ("Unity in Diversity" literally, "many, yet one"), articulates the diversity that shapes the country. Despite its large population and densely populated regions, Indonesia has vast areas of wilderness that support the world's second highest level of biodiversity. The country is richly endowed with natural resources, yet poverty remains widespread in contemporary Indonesia.[5]

Jumat, 01 Januari 2010

Maaf ya ....

Assalamualaikum ...
Maaf ya ... Fbq sementara ni tak deactivne ... cz mw konsen bwd k tes2 msk PTN or PTK ... jd hubungi lewat twitterQ aja ya .... UsernameX Franeternity...
OKe?


CU ....

Wassalam

Sang Maha Guru "BENDAN"

Assalamualaikum :)   Sudah lama yak gak kunjung blog ini huft sibuk sih .... Oke setelah selama sebulan berkutat dengan PEMIRA UGM 2011 ...